Halaman

Rabu, 08 Februari 2012

PILKADA DI ERA DESENTRALISASI

Oleh : Aceng Ahmad Nasir

 
Atas dasar pengalaman saya menangani beberapa kegiatan politik yang berkaitan dengan Pemilukada/Pilkada tentunya hasil analisa langsung menggambarkan sebuah teori aplikasi yang bersifat dinamis dalam kesempatan ini saya ingin mengupas elemen Pilkada serta beberapa kebijakan politik.
Dalam paradigma ketatanegaraan kita saat ini konsep desentralisasi dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) type : (1) desentralisasi politik, (2) desentralisasi administrasi dan (3) desentralisasi fiscal.

Desentralisasi politik dapat dimaknai sebagai pernyataan langsung bagi upaya demokratisasi di daerah, dimana filosofi penting dari masifikasi agenda demokratisasi daerah adalah membuka kesempatan seluas-luasnya pada public di daerah untuk terlibat dalam keputusan menyangkut pembangunan di daerahnya, khususnya partisipasi didalam mekanisme sirkulasi kepala daerah.

Pilkada sebagai bentuk terobosan pembangunan politik yang membuka partisipasi luas bai public dalam menentukan kepala daerah di tingkat lokal.
Larry Diamond berpandangan bahwa, pemerintah daerah, termasuk DPRD disini, memiliki peran yang cukup tinggi untuk mempercepat vitalitas demokrasi. PAndangan tersebut berpijak pada alas an-alasan berikut :
1.       Pemerintah daerah dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan demokrasi terhadap warga
2.      Pemerintah daerah dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada . berbagai kepentingan didaerahnya
3.      Pemerintah daerah dapat menyediakan saluran dan akses tambahan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis termarjinalisasi
4.      Pemerintah daerah dapat mendorong terwujudnya check an balance didalam kekuasaan

Sedangkan argumentasi Brian C. Smith menitikberatkan pada adanya perhatian terhadap demokratisasi di daerah yang berangkat dari suatu keyakinan bahwa demokrasi di daerah merupakan fondasi penting dan prasyarat bagi munculnya demokrasi tingkat nasional.
Argumen ini didasari atas asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara langsung dapat diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi tingkat nasional. Terhadap hal ini, Smith mengemukakan empat alas an, sebagai berikut :

a.      Demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu sarana pendidikan politik yang relevan bagi warga Negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis.
b.      Pemerintah daerah dipandang sebagai penyeimbang bagi pemerintah pusat yang cenderung otoriter dan sentralistis, dimana pemerintah daerah memiliki posisi tawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat.
c.       Demokrasi di daerah dianggap mampu menciptakan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional.
d.      Legitimasi perintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat local.

Pilkada di era desentralisasi dapat dibagi dalam 2 (dua) episode utama yakni sebagai pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Terdapat dua tipikal pelaksanaan pilkada yang berbeda pada implementasi mekanisme demokrasi dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut, yakni kepala daerah, baik gubernur maupun bupati / walikota dipilih berbasiskan system perwakilan di DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten / kota sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, sementara UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengamanatkan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota dipilih secara langsung oleh rakyat didaerah.
Pelaksanaan pilkada secara langsung itu sendiri dilakukan pertama kali pada tangal 1 Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kertanegara.

Pemilihan Presiden tahun 2004 menurut UUD 1945 yang diamandemen bahwa pemilihan Preseiden secara langsung

Politisasi Birokrasi, menggunakan birokrasi untuk menjadi tim sukses calaon pemilihan Kepala Daerah

Ditahun 2010 pemilihan Kepala Daerah sebanyak 244 kali

157 Walikota dan 17 Gubernur terlibat korupsi

Sistem Pemilihan :
-          Pemilihan untuk kota masih secara langsung
-          Pemilihan untuk propinsi secara tidak langsung

Pemilihan Kepala Daerah untuk Jawa Timur pada tahun lalu menghabiskan dana sebesar  970 milyar

Kedepan yang dipilih adalah Pimpinan saja, tidak termasuk wakil



Kelebihan Pemilukada adalah :
1.      Sesuai dengan konstitusi kita yang menyatakan bahwa “kedaulatan ada ditangan rakyat”, model pilkada langsung ini sungguh-sungguh member penghargaan kepada suara rakyat.
2.      Pemilukada dapat menggugurkan sunyektivitas dan monopoli anggota DPRD.
3.      Lewat pemilikada, rakyat akan secara langsung pula memperoleh pendidikan politik.
4.      Pemilukada member kemungkinan pada lahirnya pemimpin daerah dari berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat.


Namun, dibalik berbagai kelebihan diatas, pemilukada juga mempunyai sejumlah persoalan :
1.      Karena diselenggarakan secara serempak dan massif diseluh daerah, biayanya pun tidak sedikit
2.      Karena Prinsip keterbukaan, kemajemukan dan kesetaraan, pemilukada telah melahirkan pasar politik secara bebas.
3.      Karena kecenderungan seperti diatas, pemilukada sekarang baru dapat menyentuh pada aspek demokrasi procedural ketimbang substansial
4.      Pemilikada telah melahirkan kompleksitas tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan


Solusi alternative :
1.      Para elite politik di daerah harus dapat melakukan rasionalisasi dan depersonalisasi kekuasaan
2.      Tema dan cara kampanye para kandidat dalam menggalang dukungan, yang lebih mengutamakan mobilisasi suara dan popularitas seperti sekarang.
3.      Partai politik mesti bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan eksistensinya.
4.      Aturan perundang-undangan dalam pemilukada khususnya dan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya mesti terus diperbaiki, mengikuti kompleksitas tantangan yang dihadapi.
5.      Seandainya pemerintah provinsi lebih mencerminkan fungsi dekonsentrasi ketimbang desentralisasi, maka terlalu mahal bila gubernur dan wakilnya dipilih melewati pemilukada seperti sekarang.
6.      Dalam kaitannya dengan upaya penghematan, harus diupayakan praktik pemilukada yang lebih murah, tidak jor-joran seperti sekarang.

Hubungan politik dengan uang tidak dapat dipisahkan

Fungsi Negara adalah mensejahterakan rakyat

Menurut Budiono rakyat akan sejahtera bila pendapatan per kapita US 6,000

Langkah-langkah menghentikan politik uang :
-          Perketat, tidak boleh calon yang tersangka dipilih
-          Pemilihan Kepala Daerah boleh diulang hanya 1 kali
-          Dibentuk pengadilan khusus untuk menyelesaikan hasil-hasil suara

Diskursus mengenai dinamika ekonomi politik di daerah, akhir-akhir ini terus menguat seiring dengan eskalasi partisipasi publik dalam ranah demokratisasi di tingkat lokal, terutama dengan berlangsungnya otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Sebagai bangsa yang tengah beranjak menuju demokratisasi “sepenuh hati”, kondisi tersebut cukup membanggakan. Betapa tidak, setelah lebih dari 50 tahun merdeka, hidup dalam iklim demokrasi “setengah hati”, baik di era demokrasi terpimpin maupun era demokrasi Pancasila, yang sebetulnya jiwanya amat kental dengan kekuasaan sentralistik dan otoriter.
Kini, perjuangan reformasi khususnya menata sistem politik dan demokrasi di tanah air telah berhasil mengedepankan peranan rakyat sebagai subyek demokrasi, dimana rakyat tidak hanya menjadi “penonton” dalam berbagai proses pengambilan keputusan penting menyangkut manajemen kedaulatan hidup berbangsa dan bernegara.
Transisi demokrasi, dari “setengah hati” menuju demokratisasi “sepenuh hati”, merupakan salah satu tuntutan reformasi yang didengungkan sejak tahun 1998. Diawali dengan adanya kehendak kolektif segenap komponen bangsa ini untuk melakukan amandemen UUD 1945, terutama menyangkut sistem perwakilan dan wewenang pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Salah satu hasil amandemen yang berdampak mengubah secara fundamental sistem ketatanegaraan RI adalah: lahirnya lembaga baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggotanya dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Lembaga ini mempunyai kedudukan yang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Secara politik, lahirnya DPD telah mengubah atau setidaknya memperkaya khasanah dan referensi perpolitikan rakyat, dari era politik “bersimbol” ke era politik “berwajah”.
Dalam era politik “bersimbol”, rakyat sepenuhnya atau setengahnya memilih lambang-lambang ideologi politik atau aliran tertentu. Sedangkan di era politik “berwajah”, rakyat sepenuhnya memilih figur, wajah, karakter, kepribadian, dan visi-misi orang atau tokoh yang bersangkutan.
DPD yang beranggotakan tokoh-tokoh daerah, kehadirannya telah memberikan pendidikan politik mendasar sebagai bekal dalam menyelenggarakan demokratisasi sepenuhnya, dimana ujungnya dalam setiap pemilu, “orang harus memilih orang” atau “people vote people”.
Pemilu DPD yang berlangsung sukses pada 5 April 2004, telah membuktikan bahwa rakyat Indonesia di seluruh daerah nusantara telah memiliki kedewasaan berpolitik memadai sebagai prasyarat menuju negara yang demokratis.
Hal ini terbukti dengan hasil-hasil pemilu berikutnya, yakni pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung, yang juga berjalan sukses. Dengan mekanisme pemilihan yang sama dengan saat pemilihan anggota DPD, yakni secara langsung memilih “wajah” calon yang bersangkutan, pemilu presiden dan wakil presiden telah menorehkan tinta emas dalam sejarah demokrasi bangsa ini, bahkan sejarah politik NKRI.
DPD RI selanjutnya sesuai dengan amanat UUD 1945, memberikan “modal politik” bagi rakyat daerah di seluruh nusantara untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan strategis menyangkut kepentingan nasional.
Istilah “kepentingan nasional” kini tak lagi menjadi milik pemerintah pusat, tak boleh lagi diterjemahkan secara sepihak oleh presiden sebagai eksekutif pemerintahan dan para pembantunya, sebagaimana yang telah terjadi di masa-masa lalu.
Kepentingan nasional yang tercermin dalam berbagai produk legislasi; UU, Perpu dan lain-lain, kini harus melibatkan masyarakat daerah melalui peran dan fungsi DPD sebagai lembaga negara. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD RI selanjutnya menjadi pilar utama pelaksanaan otonomi daerah, ia akan menjadi penjaga “nurani” masyarakat daerah, yang selama ini termarjinalisasi akibat berbagai kebijakan pembangunan yang tak adil dan sentralistik.
DPD RI peranannya amat strategis dalam mendorong partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan nasional, sehingga pembangunan mewujudkan kesejahteraan secara merata tidak lagi “top-down”, tetapi “bottom-up”. Tidak lagi sentralistik, tetapi terdesentralisasi. Tidak lagi “Pulau Jawa” sentris, tetapi bergerak secara adil dan merata ke wilayah lain di luar Pulau Jawa.
Secara simbolik, idealistik, dan pragmatik, keberadaan DPD RI memberikan ruang yang luas kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengaktualisasikan potensinya dalam menunjang pembangunan nasional yang bermartabat dan berkeadilan.
Dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setidaknya makin mendorong dinamika politik lokal, terutama menyangkut pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkadal).
Dalam konteks Pilkadal, DPD RI tentu berkepentingan terhadap terpilihnya para kepala daerah secara demokratis dan langsung oleh rakyat, karena di tangan para kepala daerahlah masa depan otonomi daerah dipertaruhkan.
Kualitas kepala daerah, baik dari segi kapasitas dan kapabilitas personal, maupun kualitas legitimasi yang disandangnya, merupakan ukuran keberhasilan proses Pilkadal dan penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal.
Dinamika Ekonomi Politik di Daerah Pasca Pilkada
Bila kepala daerah berhasil dipilih oleh rakyat dengan sukses, menghasilkan kualitas, kapasitas, kapabilitas figur yang kompeten dan memberi harapan publik, maka selain demokratisasi di tingkat lokal berjalan sukses --dengan begitu untuk kesekian kalinya bangsa ini menorehkan tinta emas dalah sejarah berbangsa, mekanisme Pilkadal terbukti menjadi salah satu sistem dan mekanisme rekrutmen pemimpin bangsa yang berkualitas.

Ini penting, mengingat saat ini kaderisasi pemimpin nasional yang berakar dan berbasis kuat di daerah tidak berjalan selama ini. Kepemimpinan daerah yang legitimat dan berkualitas merupakan modal awal untuk menggerakkan dinamika ekonomi politik daerah secara efektif, sehingga dapat mempercepat proses pencapaian tujuan hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI.
Terpilihnya kepala daerah yang berkualitas dan legitimat merupakan “modal sosial” masyarakat dan pemerintah daerah untuk membangun keunggulan kompetitif daerah masing-masing.
Bagi pemerintah pusat, bagi DPD RI, kehadiran kepala daerah terpilih produk Pilkadal, selain menjadi mitra dalam pembangunan nasional, juga menjadi “intangible asset” dalam menerapkan pola dan strategi manajemen pembangunan modern, dimana pembangunan yang dikelola pemerintah mengalami redefinisi dan revitalisasi.
Redefinisi yang dimaksud adalah menerapkan pembangunan nasional dimana pemerintah pusat berperan sebagai “investment holding”, bukan sebagai “operating holding”. Desentralisasi dan otonomi adalah kata kunci untuk mendelegasikan sebanyak mungkin wewenang administrasi pemerintahan dan roda perekonomian ke pemerintah daerah.
Revitalisasi adalah mendorong kualitas partisipasi, kontribusi, dan daya saing pemerintah dan masyarakat daerah agar mampu memainkan peranannya sebagai “agent of change” atau “agent of development”, terutama dalam menggerakkan potensi ekonomi daerah.
Dampak runutan yang diharapkan adalah: pembangunan ekonomi dan gairah investasi terus tumbuh dinamis di berbagai daerah, sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki.
Untuk mewujudkan hal tersebut, berikut ini beberapa gagasan dalam mewujudkan masa depan ekonomi politik yang lebih baik dan dinamis di daerah antara lain:
Pertama, sistem rekrutmen kepala daerah melalui Pilkadal hendaknya dipandang sebagai “pintu” dalam memajukan ekonomi daerah. Sehingga berbagai kendala dalam sistem rekrutasi yang menghalangi figur berkualitas dan berwawasan ekonomi daerah, nasional dan global tidak terhambat oleh adanya aturan-aturan yang bernuansa kepentingan politis dan jangka pendek.
Kedua, diperlukan kesamaan visi, misi, persepsi dan paradigma dalam pembangunan daerah ke depan, antara pemerintah pusat dan daerah serta seluruh elemen masyarakat. Momentum dilahirkannya DPD RI, Pilkadal, dan berbagai produk konstitusi era reformasi lainnya, merupakan “energi sosial” yang besar dalam membangun masa depan ekonomi politik di daerah secara lebih cerah, prospektif dan memberi harapan.
Ketiga, diperlukan “blue-print” perencanaan pembangunan yang terencana, matang dan komprehensif antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sinkronisasi tidak hanya terletak pada berbagai produk legislasi, tetapi juga pada tataran manajemen operasionalisasi pembangunan; menyangkut: prioritas pemilihan sektor ekonomi dan pembangunan yang berbasis keunggulan daerah, dan prospektif terhadap peningkatan daya saing nasional.
Keempat, masa depan ekonomi politik di daerah amat ditentukan oleh desain awal dan komitmen awal bersama kita terhadap pembangunan daerah. Diperlukan konsistensi dan kontinyuitas pola pembangunan ekonomi di daerah. Seluruh instrumen dan infrastruktur politik di daerah harus diarahkan dan dikerahkan ke dalam upaya revitalisasi ekonomi di daerah.
Dengan begitu, semua upaya kita yang telah dilakukan sebagai bangsa, sejak awal reformasi hingga kini, dapat segera membuahkan hasil bagi perbaikan nasib bangsa ini.
DPD RI, tak bisa lain, kecuali harus konsisten dan fokus terus memperjuangkan nasib dan masa depan politik ekonomi di daerah agar terus berlangsung secara dinamis dalam memperbaiki masa depan Indonesia, masa depan kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar