Awal 2012 rakyat cemas, bagaimana tidak, didalam nuraninya berkata "Harga dan kebutuhan lain pasti naik, sementara penghasilan tidak naik-naik".,Rencana kenaikan BBM yang disebabkan meningkatnya harga minyak mentah dunia, mau tidak mau suka atau tidak suka hal ini merupakan sesuatu yang harus di hadapi. Subsidi BBM di tingkat premium rupanya tidak lagi pemerintah memiliki daya tahan untuk melihat aspek yang terburuk. namun alih-alih memunculkan kembali langkah bodoh dengan tidak memberi kail tetapi umpannya kepada rakyat kecil, ujungnya rakyat jauh dari kesejahteraan namun hanya menjadi akomodasi politik untuk mengamankan posisi SBY pada akhir masa kekuasaannya, terlebih saat ini partai Demokrat yang menjadi penopangnya sedang mengalami guncangan yang maha dahsyat. BLT adalah program nina bobo rakyat kecil yang di eksploitasi dan sesungguhnya adalah pembodohan terselubung, kelak akan menjadi penyakit kronis. berikut perbandingan kebijakan kenaikan BBM dari beberapa periode pemerintahan SBY.
Bahan Bakar
Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan sangat vital dalam semua
aktifitas ekonomi. Dampak langsung perubahan harga minyak ini adalah
perubahan-perubahan biaya operasional yang mengakibatkan tingkat keuntungan
kegiatan investasi langsung terkoreksi. Secara sederhana tujuan investasi
adalah untuk maksimisasi kemakmuran melalui maksimisasi keuntungan, dan
investor selalu berusaha mananamkan dana pada investasi portofolio yang efisien
dan relatif aman.
Kenaikan harga
BBM bukan saja memperbesar beban masyarakat kecil pada umumnya tetapi juga bagi
dunia usaha pada khususnya. Hal ini dikarenakan terjadi kenaikan pada pos-pos
biaya produksi sehingga meningkatkan biaya secara keseluruhan dan mengakibatkan
kenaikan harga pokok produksi yang akhirnya akan menaikkan harga jual produk.
Multiple efek dari kenaikan BBM ini antara lain meningkatkan biaya overhead
pabrik karena naiknya biaya bahan baku, ongkos angkut ditambah pula tuntutan
dari karyawan untuk menaikkan upah yang pada akhirnya keuntungan perusahaan
menjadi semakin kecil. Di lain pihak dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
tersebut akan memperberat beban hidup masyarakat yang pada akhirnya akan
menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Turunnya daya beli
masyarakat mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak
perusahaan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan penjualan yang pada
akhirnya juga akan menurunkan laba perusahaan.
A.
Kenaikan BBM Menyebabkan Inflasi
Kekhawatiran
banyak kalangan atas dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang sangat
drastis menjadi kenyataan. Angka laju inflasi yang diumumkan dua hari sebelum
Idul Fitri betul-betul di luar dugaan hampir semua pemerhati ekonomi dan bahkan
kalangan pemerintah sendiri.
Dengan mengacu
pada inflasi kumulatif Januari-September 2005 sebesar 9,1 persen, inflasi bulan
Oktober sebesar 8,7 persen tentu saja tergolong luar biasa sehingga membuat
inflasi kumulatif Januari-Oktober menjadi 15,6 persen. Inflasi Oktober
berdasarkan perhitungan "tahun ke tahun" (year on year) lebih tinggi
lagi, yakni 17,9 persen. Berdasarkan angka-angka itu, laju inflasi tahun 2005
diperkirakan berkisar 16-18 persen atau titik tengahnya adalah 17 persen.
Di awal kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM), seorang menteri ekonomi menegaskan bisa menahan
laju inflasi tahun 2005 di sekitar 10 persen. Lalu beberapa hari kemudian
dikoreksi menjadi kira-kira 12 persen, selanjutnya kembali dikoreksi menjadi 14
persen. Kali ini dan untuk ke sekian kalinya pemerintah salah langkah.
Hitung-hitungan pemerintah jelas keliru dan menyederhanakan masalah.lalu apa yang terjadi di awal tahun 2012 ini.
Memang disadari
bahwa besarnya disparitas harga BBM di dalam dan luar negeri menimbulkan banyak
masalah. Namun, sangat tidak realistis untuk menyelesaikan semua masalah itu
sekaligus dengan hanya menggunakan satu jurus pamungkas, yakni kenaikan harga
BBM sebesar 114 persen berdasarkan rata-rata tertimbang.
Padahal, kaidah
Tinbergen (Tinbergen's rule) mengatakan bahwa satu instrumen kebijakan hanya
bisa secara efektif menyelesaikan satu masalah saja. Memang pemerintah
menggulirkan beberapa obat penawar rasa sakit dalam bentuk paket insentif bagi
dunia usaha yang meliputi paket fiskal, reformasi di bidang tata niaga dan
transportasi, serta kebijakan di bidang perberasan.
Pemerintah juga
mengucurkan dana bantuan langsung tunai (BLT) bagi setiap keluarga miskin
sebesar Rp 100.000 per bulan yang dibayarkan di muka sekaligus untuk tiga
bulan. Dengan BLT ini bahkan pemerintah sangat yakin bisa menekan jumlah orang
miskin—sungguh suatu perhitungan yang teramat matematik—statik yang seolah-olah
menempatkan 220 juta penduduk Indonesia bagaikan mesin tanpa jiwa dan emosi di
dalam laboratorium yang terisolasi.
Dengan
mempertimbangkan bahwa paket insentif dan BLT sangat terbatas cakupannya dan
mengingat pula belum semua terwujud, serta masalah-masalah baru yang muncul
sehingga diragukan efektivitasnya, maka tohokan kenaikan harga BBM berpotensi
menambah dan memperpanjang penderitaan rakyat. Tanda-tanda ke arah sana sudah
semakin nyata.
Berdasarkan
perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu
berdampak seketika terhadap peningkatan pengangguran terbuka sebanyak 426.000
pekerja. Jajaran penganggur ini niscaya akan terus bertambah panjang dalam
setahun ke depan karena gelombang PHK akan terus berlanjut setelah Lebaran dan
Tahun Baru nanti.
Tak seperti
krisis tahun 1998 yang membuat banyak perusahaan besar—terutama yang banyak
berutang dalam mata uang asing, memiliki kandungan impor yang besar, dan
berorientasi pada pasar dalam negeri—terempas, sementara usaha kecil dan
menengah (UKM) dan atau sektor informal justru mampu bertahan, dampak kenaikan
harga BBM kali ini lebih berat dirasakan oleh UKM dan bersifat seketika. Padahal,
UKM inilah yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.
Usaha berskala
menengah-besar diperkirakan mulai mengalami tekanan serius pada tahap
selanjutnya. Salah satu penyebab utamanya ialah kenaikan tajam suku bunga
pinjaman. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keniscayaan Bank Indonesia
untuk terus-menerus meredam instabilitas makro-ekonomi. Pada hari yang
bersamaan dengan pengumuman angka inflasi oleh BPS, Bank Indonesia menaikkan BI
Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25 persen. Inilah kenaikan BI Rate
tertinggi sejak diperkenalkan untuk pertama kalinya pada 5 Juli tahun ini.
Karena negeri
kita tergolong sebagai small open-economy yang menerapkan rezim devisa bebas,
sehingga membawa konsekuensi untuk menjaga interest rate differential dengan
luar negeri, maka hampir bisa dipastikan bahwa Bank Indonesia akan terus
menaikkan BI Rate.
Jika ekspektasi
masyarakat terhadap inflasi "manteng" pada angka 17 persen, maka suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor satu bulan hingga Desember akan
bergerak cepat ke tingkat 15 persen. Jika pada angka ini posisi rupiah terus
mengalami tekanan "berat", maka boleh jadi suku bunga SBI akan terus
dinaikkan. Berdasarkan pengalaman dua tahun terakhir saja, serta dengan
mengambil selisih rata-rata suku bunga SBI bertenor satu bulan dan angka
inflasi yang amat konservatif sebesar 1-1,5 persen, maka suku bunga SBI
berpotensi terus naik mendekati 20 persen.
Menghadapi
tekanan yang bertubi-tubi, termasuk kenaikan suku bunga pinjaman, membuat dunia
usaha kian kalang kabut.
Kenaikan suku
bunga bisa diredam asalkan pergerakan nilai tukar rupiah agak dibiarkan
fleksibel. Karena, kiranya amat sulit mencapai target suku bunga rendah dan
rupiah kuat bersamaan. Pilihan pahit ini harus dipilih mau yang paling sedikit
biayanya bagi perekonomian atau yang mana.
Bagaimana jika
kurs yang dibiarkan mengambang akan mengarah pada destabilizing speculation?
Pilihan ekstrem kalau memang suku bunga tinggi lebih memukul perekonomian ialah
mem-peg nilai rupiah. Sekalipun opsi ini sangat ditentang oleh penganut aliran
ekonomi mainstream, tak ada salahnya untuk mulai menghitung-hitung untung-rugi
dan prakondisi yang harus terpenuhi. Paling tidak pemberlakuannya bersifat
darurat dan sangat sementara.
Tantangan jangka
pendek ini harus dihadapi dengan sangat hati-hati. Segala tindakan pemerintah
harus betul-betul terukur. Kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal. Secara
teknis, kenaikan harga BBM tak mungkin lagi dikoreksi karena dampak terhadap
kenaikan harga-harga boleh dikatakan sudah terjadi penuh.
Akibat kenaikan
harga BBM yang tak kepalang, pekerjaan rumah pemerintah bukannya berkurang,
malahan bertambah banyak dan lebih pelik serta lebih berisiko. Investor asing
dan lembaga-lembaga internasional memuji langkah berani pemerintah. Para
kreditor mengamini karena terang saja mereka merasa lebih nyaman jika APBN
lebih banyak dialokasikan untuk pembayaran bunga dan cicilan utang. Jadi, apa
bedanya antara memberi subsidi kepada rakyat dan membayar suku bunga lebih
tinggi kepada kreditor asing?
Kita berharap
pemerintah lebih peka pada derita rakyatnya sendiri. Kepentingan nasional harus
di atas segala-galanya. Kita harus berdaulat secara politik dan ekonomi.
Keadilan harus jadi acuannya. Banyak pilihan kebijakan yang masih tersedia
untuk mewujudkannya asalkan kita mau mengubah pola pikir kita yang selama ini
terlalu dibelenggu oleh setting perekonomian negara maju yang kelembagaannya
sudah sedemikian sangat lengkap, dan tidak korup.
B.
Dampak Kenaikan BBM Pada Masyarakat Kecil
Walaupun dampak kenaikan
harga BBM tersebut sulit dihitung dalam gerakan kenaikan inflasi, tetapi dapat
dirasakan dampak psikologisnya yang relatif kuat. Dampak ini dapat menimbulkan
suatu ekspektasi inflasi dari masyarakat yang dapat mempengaruhi kenaikan harga
berbagai jenis barang/jasa. Ekspektasi inflasi ini muncul karena pelaku pasar
terutama pedagang eceran ikut terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dengan cara
menaikkan harga barang-barang dagangannya. Dan biasanya kenaikan harga
barang-barang kebutuhan pokok masyarakat terjadi ketika isu kenaikan harga BBM
mulai terdengar.
Perilaku
kenaikan harga barang-barang kebutuhan masyarakat setelah terjadi kenaikan
harga beberapa jenis BBM seperti premium (bensin pompa), solar, dan minyak
tanah dari waktu ke waktu relatif sama. Misalnya, dengan naiknya premium
sebagai bahan bakar transportasi akan menyebabkan naiknya tarif angkutan.
Dengan kenaikan tarif angkutan tersebut maka akan mendorong kenaikan harga
barang-barang yang banyak menggunakan jasa transportasi tersebut dalam
distribusi barangnya ke pasar. Demikian pula dengan harga solar yang mengalami
kenaikan juga akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa yang dalam proses
produksinya menggunakan solar sebagai sumber energinya.
Begitu
seterusnya, efek menjalar (contagion
effect) kenaikan harga BBM terus mendongkrak biaya produksi dan operasional
seluruh jenis barang yang menggunakan BBM sebagai salah satu input produksinya
yang pada akhirnya beban produksi tersebut dialihkan ke harga produk yang
dihasilkannya. Kenaikan harga beberapa jenis BBM ini akan menyebabkan kenaikan
harga di berbagai level harga, seperti harga barang di tingkat produsen,
distributor/pedagang besar sampai pada akhirnya di tingkat pedagang eceran.
Gerakan kenaikan harga dari satu level harga ke level harga berikutnya dalam
suatu saluran perdagangan (distribution channel) adakalanya memerlukan waktu
(time lag). Tetapi, yang jelas muara dari akibat kenaikan harga BBM ini adalah
konsumen akhir yang notabene adalah berasal dari kebanyakan masyarakat ekonomi
lemah yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari dengan membeli
barang-barang kebutuhannya sebagian besar dari pedagang eceran. Dan biasanya
kenaikan harga di tingkat eceran (retail
price) ini lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat harga
produsen (producer price) maupun di
tingkat pedagang besar (wholesale price).
Kenaikan harga
beberapa jenis BBM bulan Mei 1998, terulang kembali di bulan Juni 2001 dengan
beberapa skenario kenaikan harga beberapa jenis BBM (premium, solar, minyak
tanah). Menurut salah satu sumber di Badan Pusat Statistik, untuk jenis barang
BBM yang harganya ditentukan pemerintah, hampir 50 persen dari pengaruh
kenaikan BBM sudah dihitung dalam penghitungan inflasi pada bulan Juni 2001.
Misalnya bensin naik dari Rp 1.150/liter menjadi Rp 1.450/liter. Karena
kenaikan BBM terjadi di bulan Juni, nilai yang digunakan dalam penghitungan
inflasi bulan Juni adalah ((1150 + 1450)/2) = 1300 sehingga perubahan yang
digunakan adalah perubahan dari harga Rp 1.150/liter menjadi Rp 1.300/liter
atau naik 13,04 persen. Sementara untuk bulan Juli 2001, perubahan harga yang
dihitung adalah dari harga bensin Rp 1.300/liter menjadi Rp 1.450/ liter atau
naik 11,54 persen. Perlakuan ini juga berlaku untuk jenis barang BBM lainnya.
Dengan demikian,
pada bulan Juli 2001, sumbangan inflasi dari BBM (bensin, solar, dan minyak
tanah) akan mencapai 0,28 persen. Ditambah lagi sumbangan inflasi pelumas/oli
yang apabila naik 15 persen akan memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,05
persen. Sumbangan inflasi dari BBM akan bertambah besar jika komponen BBM
lainnya yang tidak ditetapkan pemerintah bergerak sesuai selera pasar. Tekanan
inflasi akan semakin besar apabila pemerintah menaikkan tarif dasar listrik
rata-rata.
Dampak ini hanya
sebagian kecil saja yang terjangkau dari pandangan kita. Justru dampak tak
langsung yang merupakan hasil multiplier
effect dapat menyeret tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
Inflasi bulan
Juni 2001 sebesar 1,67 persen dan laju inflasi dari Januari-Juni 2001 sudah
mencapai 5,46 persen, dengan adanya kenaikan harga BBM sepertinya pemerintah
harus merevisi asumsi inflasi APBN tahun 2001 yang hanya berkisar 9,3 persen
menjadi inflasi dua digit.
Sebab, setelah
bulan Juli tahun ini, masih banyak faktor pemicu inflasi lain seperti peristiwa
SI MPR dan faktor musiman seperti Lebaran dan Natal yang akan mendongkrak
tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
Sepertinya
rakyat harus menarik napas dalam-dalam menahan impitan kenaikan harga-harga
kebutuhan pokok yang tinggi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per
15 Juni 2001. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001
menjadi 1,67 persen. Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan
memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan
pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini
tembus dua digit. Kebijakan kenaikan harga BBM per 15 Juni 2001, menjadi pemicu
kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Contoh, penjual sayur-sayuran,
menaikkan harga sayur-sayurannya lantaran ongkos transpornya dan harga
sayur-sayuran dari petani sayur sudah naik. Begitu juga, penyedia jasa
angkutan, secara serentak menaikkan ongkos transpor lantaran BBM yang digunakan
sehari-harinya naik, bahkan kenaikannya melebihi dari kenaikan BBM itu sendiri.
Penjual pakaian
di pasar-pasar juga ikut menaikkan harga dagangannya dengan alasan harga
pakaian dari industri pakaiannya sudah naik. Tak kalah serunya industri pakaian
ini juga secara otomatis menaikkan harga produknya karena biaya produksi naik
lantaran ada sebagian kegiatan produksinya menggunakan BBM dalam jumlah besar.
Belum lagi nanti kalau tarif listrik naik lantaran PLN dalam memproduksi
listriknya juga menggunakan sebagian BBM.
Seluruh fenomena
ini merupakan salah satu contoh akibat “air bah” pemicu inflasi yang merupakan
multiplier effect dari kenaikan BBM, karena BBM merupakan salah satu komponen
strategis dalam menggerakkan roda ekonomi seluruh aktivitas perekonomian di
negara ini.
Pada awalnya
pengurangan subsidi BBM ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dalam
pemberian subsidi untuk seluruh lapisan masyarakat karena selama ini pemberian
subsidi BBM hanya menguntungkan masyarakat lapisan ekonomi kuat. Tetapi, pada
akhirnya akibat kebijakan pengurangan subsidi BBM tersebut, yang menanggung
kenaikan harga BBM adalah masyarakat lapisan bawah. Program kompensasi yang
dijanjikan pemerintah untuk membantu masyarakat ekonomi lemah akibat kenaikan
BBM yang dimulai sejak bulan April 2000 tidak mengenai sasaran pada masyarakat
yang membutuhkan. Bahkan program ini telah dilansir media massa hanya merupakan
proyek bagi-bagi uang yang tidak sampai ke sasarannya. Kurangnya perencanaan
dan pengawasan penyaluran dana kompensasi merupakan salah satu penyebab tidak
berhasilnya program tersebut.
Pemerintah
selama tahun 2000 – 2001 telah menaikkan harga BBM sampai tiga kali. Kenaikan
harga BBM terakhir terjadi pada tanggal 15 Juni 2001, seperti kenaikan harga
premium dari harga Rp 1.150/liter di bulan April 2000 menjadi Rp 1.450/liter di
bulan Juni (naik 26,1 persen), harga solar dari Rp 600/liter menjadi Rp
900/liter (naik 50 persen), harga minyak tanah dari Rp 350/liter menjadi Rp
400/ liter (naik 14,29 persen), minyak diesel dari Rp 550/liter menjadi Rp
1.200/liter (naik 118,18 persen), dan minyak bakar dari Rp 400/liter menjadi Rp
900/liter (naik 125 persen).
Kenaikan BBM
tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan
multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam
proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM.
Contoh dampak
kenaikan harga BBM pada bulan April 1998 tersebut terhadap inflasi masih terasa
sampai bulan Juli 1998 dengan rata-rata inflasi setiap bulannya sebesar 6,77
persen.
Inflasi bulan
Mei 1998 mencapai 5,24 persen dan pada bulan tersebut seluruh kelompok
pengeluaran konsumsi mengalami kenaikan indeks. Kelompok pengeluaran bahan
makanan mengalami kenaikan indeks sebesar 3,90 persen; kelompok pengeluaran
makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 4,00 persen; kelompok pengeluaran
perumahan 4,14 persen; kelompok pengeluaran sandang 4,53 persen; kelompok
pengeluaran kesehatan 2,40 persen; kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga
1,41 persen; dan kelompok pengeluaran transportasi dan komunikasi 17,25 persen.
Tekanan inflasi
masih dirasakan di bulan Juni 1998, mencapai angka 4,64 persen, dan pada bulan
tersebut seluruh kelompok pengeluaran konsumsi juga mengalami kenaikan indeks.
Hal ini masih terjadi pula pada tingkat inflasi bulan Juli, yaitu sebesar 8,56
persen.
Angka inflasi
sebesar 8,56 persen merupakan angka inflasi yang sangat tinggi karena angka
inflasi satu persen saja sudah merupakan cerminan dari gelombang “air bah” dari
kenaikan beberapa jenis barang yang hampir terjadi di seluruh kota yang
dihitung angka inflasinya.
Berdasarkan pola
kenaikan jenis barang selama ini, angka inflasi satu persen saja biasanya
berasal dari kenaikan harga lebih dari 15 jenis barang yang terjadi serentak di
hampir seluruh kota sampel penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Jenis barang
yang sering mengalami fluktuasi harga biasanya berasal dari kelompok bahan
makanan seperti beras, daging ayam ras, ikan segar, telur, tomat sayur, minyak
goreng, dan cabai rawit. Ditambah juga dari kelompok makanan jadi, minuman,
rokok, dan tembakau seperti rokok, mi kering instan, nasi lauk, ayam goreng,
kue kering, dan berbagai jenis minuman. Semua itu biasanya ikut mewarnai angka
inflasi sebesar satu persen di samping kelompok jenis barang lainnya.
1. Dari
sisi pelanggan
Daya beli pasti turun.
Tapi ini sejenak, mungkin cuma 2 bulan. Karena pelanggan Indonesia tidak tahan
untuk tidak membeli. Yang pasti terjadi pergeseran sementara, mungkin pelanggan
kelas menengah mencari produk lebih murah namun kualitas masih bagus, tetapi
pelanggan kelas bawah mencari yang paling murah. Pelanggan kelas atas yang tidak
terpengaruh.
Pelanggan sedang sensitif
harga, jadi maunya harga diskon terus. Jangan kaget, sebentar lagi banyak Promo
“Harga Diskon”, “Beli 2 Gratis 1”, “Cuci Gudang”, “Harga Tidak Naik”.
Psikologisnya selalu ingin mendapatkan harga termurah. Makanya biasanya banyak
yang membuang barang lama dengan event diskon. Atau melabel dengan harga baru
lalu di-diskon.
Pelanggan tetap maunya
barang bagus, desain OK, model terbaru, tetapi harga maunya murah. Nah,
produsen biasanya pandai mensiasasti situasi ini. Kita sebagai pedagang eceran,
pasti masih punya peluang besar mendapatkan model-model terbaru dengan harga
terjangkau.
Tidak ada toko yang
tidak menaikkan harga, sehingga pelanggan pasti akan mendapatkan harga naik
pada semua pedagang eceran. Artinya, potensi pelanggan pindah toko juga kecil.
Jadi jangan takut kehilangan pelanggan. Membuat hati pelanggan lebih nyaman
membeli dari kita lebih penting saat ini.
Saatnya menambah produk
yang terjangkau. Ini hanya sebagai pancingan saja, supaya pelanggan merasa
dapat membeli produk di toko kita. Padahal setelah melihat produk murah,
biasanya tidak puas dengan kualitas produknya, ujung-ujungnya masih ingin beli
yang agak mahal tapi bagus.
Yang kasihan adalah
pelanggan yang memang benar-benar tidak mampu beli. Namun biasanya masih tetap
ada peluang beli dengan terpaksa, yaitu pas lebaran. Untuk itu, penjual wajib
menyediakan barang-barang lama atau yang tidak laku dengan harga super murah.
2. Dari sisi produsen
Dari sisi produsen,
yang pasti produksi tidak mungkin tutup. Produsen otomatis juga tidak langsung
menaikkan harga, apalagi mempunyai stok lama bahan produksi. Produsen juga
takut menaikkan harga, takut produksinya tidak terserap pasar. Jadi tidak
mungkin semena-mena menaikkan harga.
Produsen pasti makin
kreatif, mencoba memberikan nilai tambah produk dari aspek yang tidak
menjadikan harga naik, seperti aspek desain, model dan aplikasi yang menarik.
Karena mereka tahu, sebisa mungkin masih harus menyajikan produk yang
terjangkau.
Produsen juga hati-hati
dalam mengkomunikasikan harga ke pengecer. Produsen juga ingin membangun
pengertian bersama, bahwa produsen dan pengecer harus bisa saling memahami
dampak kenaikan harga.
Demikian juga pedagang
bahan produksi, selama harga pabrik tidak naik, harga bahan juga cenderung
tetap. Kalaupun naik pasti perlahan dan bertahap. Sektor hulu cenderung menaikkan
harga bertahap.
3. Dari sisi makro
Dampak kenaikan harga
BBM adalah berantai. Semua kena dampaknya. Kenaikan harga terjadi di semua
komoditas. Namun semua juga sedang menuju keseimbangan baru. Karena pada
dasarkan ekonomi tidak akan berhenti. Inflasi juga pasti terjadi. Semua hanya
ganti harga saja, namun akan ada shock, dan butuh waktu untuk pulih.
Namun ada sedikit
penggembira, jika naik bulan Juni, pedagang bisa agak sedikit tidak perlu
khawatir, karena bulan Juli - Desember adalah bulan belanja pemerintah.
Artinya, ekonomi sudah pasti berjalan. Ingat, pertumbuhan ekonomi kita sangat
tergantung dari belanja pemerintah.
Pedagang wajib bertahan
sampai event LEBARAN (bulan Oktober), karena disini tidak ada lagi pengaruh
kenaikan harga BBM, semua pasti terlena dengan event belanja lebaran.
Kenaikan harga BBM
bukanlah Lonceng Kematian, hukumnya wajib masyarakat kecil harus bertahan.
Kesimpulan
Kenaikan harga
BBM selalu disertai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan yang lain, karena BBM
merupakan faktor bahan baku yang utama bagi sektor industri. Sehingga dampak
kenaikan harga BBM pasti akan sangat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya
masyarakat kecil.
Untuk menyiasati
kenaikan harga BBM bagi para produsen adalah dengan cara makin kreatif, mencoba
memberikan nilai tambah produk dari aspek yang tidak menjadikan harga naik,
seperti aspek desain, model dan aplikasi yang menarik. Hal ini perlu dilakukan
agar harga produk tidak ikut naik terlalu tinggi.bukan dengan rakyat ciberikan santunan BLT. sungguh ini suatu pembodohan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar