Gayung ternyata tak bersambut, kondisi masyarakat tersebut tidak direspon oleh wakil rakyat di DPRD Garut. Hal ini tercermin dalam penyusunan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tahun 2012 yang beberapa waktu lalu diparipurnakan. RAPBD Garut yang penyusunannya telat, ternyata sama sekali tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat Garut.
Yang paling mencengangkan, dalam APBD 2012 terdapat anggaran untuk pembelian 16 mobil dinas anggota dewan senilai Rp. 3,6 miliar. Pengalokasian dana untuk mobil dinas itu jelas hanya akan dinikmati wakil rakyat saja. Ironis memang, ketika kondisi rakyat yang terbelenggu kemiskinan, tidak dijawab dengan alokasi anggaran yang pro rakyat. Tidak ada alokasi khusus untuk program-program pengentasan kemiskinan atau peningkatan daya beli rakyat. Dibandingkan dengan anggaran kesehatan dan pendidikan, alokasi anggaran untuk pembelian mobil dinas ini jelas tidak berimbang.
Rakyat Garut patut mempertanyakan, apakah wakil rakyat di DRPD benar-benar mewakili aspirasi rakyat? Atau hanya memperdulikan kepentingannya saja. Beginilah, jika wakil rakyat sudah tidak menggunakan hati nurani dalam menjalankan tugasnya. Sehingga, kebijakan apapun, termasuk anggaran tidak mengukur perasaan rakyat. Sungguh disayangkan, anggota dewan sebagai produk dari demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat, ternyata tidak mempunyai itikad politik menyejahterakan rakyat sebagai konstituennya.
Selanjutnya perlu langkah-langkah strategis yang pro rakyat dalam menyikapi hal ini. Satu-satunya langkah strategis itu adalah membatalkan pengalokasian anggaran 16 mobil dinas tersebut. Jauh lebih baik, dana Rp. 3,6 miliar tersebut dialokasikan untuk memberdayakan ekonomi rakyat Garut yang memperihatinkan, membantu penguatan daya beli masyarakat yang rawan pangan seperti masyarakat yang makan pisang dan gadung di Cibalong. Atau dialokasikan saja untuk memperbaiki infrastruktur vital seperti jembatan-jembatan yang rusak.
Jika alokasi anggaran untuk mobil dinas tersebut direalisasikan, maka itulah bentuk penghianatan dewan terhadap rakyat. Padahal, kendaraan dinas yang ada masih bisa digunakan. Jika ada kerusakan maka memperbaikinya jauh lebih menghemat anggaran. Namun jika tetap saja anggaran ini direalisasikan, apakah pantas legislatif disebut sebagai wakil rakyat dan eksekutif disebut pemimpin rakyat?
Harga Kursi Wakil Bupati Garut Rp. 500 Juta?
Malah isu yang santer didengar masyarakat adalah munculnya nama calon lain di luar yang disebutkan tadi, dan adanya “lelang kursi” untuk menempati jabatan wakil bupati itu. Seorang member grup Gosip Garut dalam postingan wallpost-nya misalnya menyebutkan, bahwa figur yang akan dipilih Bupati Aceng sebagai wakil bupati adalah orang dekatnya. Sayang, postingan itu tidak menyebut secara jelas siapa nama figur yang dikatakan “orang dekat” Bupati Aceng dimaksud.
“Entahlah, nama yang dimaksud mungkin saja orang yang sudah berani ‘menebak’ harga kursi Wakil Bupati Garut, atau bisa juga orang yang memang dekat dengan Bupati Aceng,” kata sumber Gosip Garut. Menurut isu yang ditangkap sumber, besarnya tarif untuk kursi wakil bupati disebutkan sebesar Rp. 500 juta. Bahkan di antaranya ada yang menyebutkan sebesar Rp. 2 miliar. “Jadi siapa yang berani menebak tarif itu, dapat dipastikan dialah yang akhirnya dipilih Bupati Aceng untuk mendampinginya sebagai wakil,” sambung sumber.
Terkait dengan isu adanya komersialisasi jabatan untuk posisi Wakil Bupati Garut, sejumlah mahasiswa dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kabupaten Garut pernah menggelar aksi unjuk rasa di depan pintu gerbang kantor Bupati Garut Jalan Pembangunan. Mereka meminta kursi wakil bupati yang saat ini kosong, jangan sampai diperjualbelikan. Dalam aksinya, mereka membawa spanduk yang salah satunya bertuliskan ‘Wabup Mau? Wani Piro?’.
Tulisan yang mengutip celotehan pada salah satu iklan rokok di televisi itu seperti menyindir maraknya penyuapan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka sengaja memperlihatkan tulisan itu sebagai keprihatinan atas kencangnya indikasi komersialisasi terkait pengisian kursi Wakil Bupati (Wabup) Garut yang saat ini masih kosong.
Keprihatinan dan protes mahasiwa itu bukan hanya disampaikan melalui orasi dan tulisan. Mereka bahkan menggelar aksi teatrikal diiringi tabuhan drum serta suara protes yang diperdengarkan lewat megaphone.
Dari tengah barisan demonstran, dua mahasiswa maju ke depan. Masing-masing mukanya ditutupi topeng kertas. Salah satunya berlagak sebagai Bupati Garut dengan muka berpenutup topeng kertas bertuliskan “Bupati-ane bingung”. Seorang lagi bergaya selaku calon Wakil Bupati Garut. Pada mukanya yang ditutupi topeng kertas itu tertera tulisan ‘Wakil Bupati’ dengan dikelilingi beberapa tanda tanya.
Kedua orang tersebut tampak berbisik-bisik seakan tengah melakukan lobi politik soal kursi wabup. Tak lama berselang, dari tangan calon ‘Wabup’ keluar selembar uang kertas dengan nominal Rp50.000 yang diberikannya kepada ‘Bupati’.
Bupati Garut Poligami...wawww...???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar