Pancasila, Quo vadis Pendidikan dan Pengangguran Terdidik
Hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, perlu diperingati oleh bangsa Indonesia untuk menggugah kita: kembali menyadari pentingnya dasar negara Pancasila sebagai filosofi dan ideologi pemersatu bangsa dan negara.
Ini tidak terlepas dari kondisi bangsa yang sejak era reformasi semakin jarang membahas konsep Pancasila, baik dalam konteks ketatanegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan, maupun akademik.
Meskipun pada pasca-Reformasi—dari pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan kini Susilo Bambang Yudhoyono—Pancasila tetap menjadi dasar dan ideologi negara, hal itu sebatas pernyataan konstitusi.
Karena Pancasila ada dalam konstitusi (UUD 1945), maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan negara.
Grundnorm, disebut juga staas grundnorm, berada di atas Undang-Undang Dasar. Dalam ajaran mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dan
bertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), Pancasila dapat digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, muncul fenomena di berbagai lapisan masyarakat yang hampir tidak pernah lagi mengutip Pancasila dalam pandangannya. Pancasila seperti tenggelam, tidak perlu dimunculkan lagi di ruang publik.
Pancasila pun terpinggirkan dan terasing dari dinamika kehidupan bangsa. Dasar negara ini seperti tidak dibutuhkan, baik dalam kehidupan formal-kenegaraan maupun masyarakat sehari-hari.
Revitalisasi Pancasila
Ada keinginan sebagian masyarakat untuk merevitalisasi eksistensi Pancasila, tetapi belum mengerucut jadi gerakan. Dalam sejarah ketatanegaraan, revitalisasi Pancasila sebenarnya pernah berlangsung. Gelombang pertama ketika Pancasila lahir saat Soekarno berpidato di depan BPUPKI, 1 Juni 1945. Gelombang kedua, ketika Konstituante, pasca-Pemilu 1955, memperdebatkan apakah Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara atau diganti ideologi lain. Gelombang ketiga saat Pancasila dimanipulasi rezim Soeharto.
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila amat sering dibahas, baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hampir semua pidato Soeharto mengutip Pancasila. Sebagaimana dikatakan Cohen, juga Hallin dan Mancini, pidato Presiden memengaruhi masyarakat terkait realitas sosial politik yang ada.
Pancasila jadi kata kunci pidato Soeharto untuk menunjukkan Orde Lama sebagai masa yang penuh kekacauan karena tidak mengamalkan Pancasila. Dalam wacana khas Orde Baru, berbagai penyelewengan, disintegrasi, pemberontakan, dan komunisme adalah praktik penyimpangan terhadap Pancasila.
Lantas mengapa setelah lengsernya Soeharto Pancasila tak terdengar lagi, bahkan muncul keengganan berbagai kalangan mengakui eksistensi Pancasila? Ini akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyelewengan penguasa Orde Baru yang mengatasnamakan Pancasila. Demi kekuasaan, para penguasa Orde Baru memonopoli penafsiran Pancasila sesuai kepentingannya. Semua yang dinilai tidak sesuai dicap ”anti-Pancasila”.
Pasca-Reformasi muncul kekhawatiran, jika Pancasila kembali berperan, berarti Indonesia kembali ke masa Orde Baru. Pancasila diidentikkan sebagai bagian dari rezim dan ideologi penguasa Orde Baru.
Belajar dari penyelewengan Pancasila oleh pemerintahan Orde Baru, kita hendaknya kembali menyadari pentingnya Pancasila sebagai konsep bernegara. Ini mengingat bangsa kita telah kehilangan arah akibat praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan menjadi collapsed state: negara tidak berperforma baik karena fungsi-fungsi negara tidak membawa negara keluar dari berbagai kebobrokan internal. Artinya, negara gagal menjalankan fungsi-fungsi dasarnya terutama saat masyarakat membutuhkan kehadiran negara.
Tanda negara kolaps
Menurut Gregorius Sahdan, collapsed state ditandai antara lain: kegagalan negara menyediakan public goods terutama di luar Jawa. Banyak sekolah seperti kandang sapi, tidak ada jalan raya—kalau ada berlubang-lubang, rumah sakit jauh dari masyarakat miskin pedesaan, air bersih sulit dipenuhi, minyak tanah susah dicari, dan sebagainya.
Collapsed state juga ditandai dengan gagalnya negara menegakkan supremasi hukum. Mafia hukum justru merajalela sehingga hukum hanya berlaku bagi koruptor pinggiran, bukan pada koruptor kelas kakap.
Semua itu memperlihatkan sikap bangsa yang tidak menghayati nilai-nilai Pancasila. Sikap ini juga tampak pada instrumen regulasi dan kebijakan politik yang bisa memicu disintegrasi bangsa.
Peringatan hari Pancasila kiranya melahirkan komitmen menjadikan Pancasila sebagai perekat yang mempersatukan bangsa dan negara. Seluruh komponen bangsa hendaknya berhak sama untuk memaknai Pancasila sehingga Pancasila tak lagi diposisikan sebagai milik satu kelompok saja. Apabila ada perbedaan pemaknaan dan penafsiran, itu konsekuensi demokrasi.
Keberhasilan menempatkan kembali Pancasila sangat tergantung pada keteladanan para elite politik dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila. Ini berarti lahirnya jiwa negarawan yang memahami tanda-tanda zaman sehingga dapat membawa bangsa melewati masa-masa sulit. Apalagi dengan beratnya problem bangsa diantaranya masalah pengangguran dan pendidikan .(Kompas,1/6/2010)
Paradigma Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi adalah suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas yang memiliki karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk intelektual dilahirkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Dengan kata lain perguruan tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang memberikan kontribusi bagi terciptanya proses pemberdayaan berfikir sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas yang dimiliki untuk dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Esensi peran dan fungsi perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam pola orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang biasa dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Berbicara tentang pendidikan, maka perguruan tinggi bukan hanya menciptakan suatu mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara formal saja. Tetapi ia juga harus mampu menumbuh-kembangkan nilai di dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah bahwa di dalam pendidikan – terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena pendidikan hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks itulah maka pendidikan (khususnya di perguruan tinggi) harus setidaknya mengambil ikhtiar dari hakekat ilmu, yaitu dikaji secara ilmiah dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu, masyarakat bangsa dan negara.
Sebagai komunitas ilmiah, Perguruan Tinggi harus mampu membangun responsibilitas yang bersifat konseptual dan solutif tentang berbagai hal yang berkaitan dengan situasi-kondisi yang berkembang ditengah masyarakat. Dengan demikian perguruan tinggi menjadi media/ sarana yang mampu mentransformasikan relevansitas perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai kapasitasnya sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Termasuk bagaimana merespons perkembangan zaman yang saat ini sudah berdimensi global.
Berkaitan dengan itu maka sesuai dengan amanat UUD 1945, Tap MPR No. II/MPR/1993 dinyatakan bahwa : Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Penyelenggaraan Pendidikan nasional harus mampu meningkatkan, memperluas dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap masyarakat. Lebih jauh ketetapan MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 hasil Sidang Istimewa MPR 1998 menegaskan bahwa Pancasila sudah tidak menjadi satu-satunya azas, Pancasila telah menjadi sebuah ideologi terbuka yang dikaji dan dikembangkan berdasarkan kultur dan kepribadian bangsa. Ketetapan MPR menyebutkan bahwa kurikulum dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan terus ditingkatkan dan dikembangkan disemua jalur, jenis dan jenjang pendidikan nasional. Itu berarti Pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi harus terus menerus ditingkatkan ketepatan materi instruksionalnya, dikembangkan kecocokan metodologi pengajarannya, di-efisien dan di-efektifkan manajemen lingkungan belajarnya. Dengan kata lain perguruan tinggi memiliki peran dan tugas untuk mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada semua mahasiswa untuk benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan obyektif.
Disamping itu, kalau ditilik kembali secara yuridis formal, perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, juga tertuang dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional. Pasal 39 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan Agama. Demikian juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 13 (ayat 2) ditetapkan bahwa kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Secara lebih rinci perkuliahan Pancasila diatur dalam surat keputusan Dirjen Dikti RI No. 467/DIKTI/KEP/1999 yang merupakan penyempurnaan dari keputusan Dirjen DIKTI No. 356/DIKTI/KEP/1995. Dalam Surat Keputusan Dirjen DIKTI No. 467/DIKTI/KEP/ 1999 tersebut dijelaskan pada pasal 1 bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila yang mencakup filsafat Pancasila merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok mata kuliah umum dalam suatu susunan kurikulum inti perguruan tinggi. Pasal 2 menjelaskan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila adalah mata kuliah wajib untuk diambil oleh setiap mahasiswa pada perguruan tinggi untuk program Diploma dan program Sarjana. Sementara pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan Pancasila dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang Pancasila sebagai filsafat/ tata nilai bangsa, sebagai dasar negara dan ideologi nasional dengan segala implikasinya.
Hal tersebut juga berlaku pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai satu kesatuan dari mata kuliah pendidikan Pancasila dan pendidikan Agama, yang mengandung visi keilmuan dan hakekat yang sama secara substansial dengan mata kuliah Pancasila. Karena sasaran yang hendak dicapai dalam mata kuliah ini adalah memberikan pengetahuan dan pengertian yang mendalam kepada mahasiswa sebagai tulang punggung negara, sebagai tonggak/ agen pembaharu di dalam msyarakat, tentang hubungan antara warga negara dengan negara, yang di dalamnya memuat unsur pendidikan politik, strategi politik nasional, pendidikan bela negara (baca : Nasionalisme) dan aspek-aspek yang dijadikan pedoman bagi mahasiswa dalam melihat perspektif ketatanegaraan bangsa Indonesia (baik supra struktur maupun infra strukturnya), sehingga mahasiswa diharapkan mampu menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945.
Dari paradigma pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua mata kuliah itu memiliki nilai fundamental bagi sistem pendidikan nasional secara komprehensif. Namun demikian apapun dan dalam bentuk apapun sebuah konsep ideal, ia harus berevolusi dan berkorelasi dengan iklim dan situasi yang berkembang – termasuk di dalamnya adalah mengenai intepretasi, sehingga terlihat adanya kausalitas antara idealitas dengan realitas. Dalam konteks yang demikian itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya memang pernah mengalami homogenitas intepretasi dan manipulasi politik sesuai dengan selera dan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan seperti itu, Pancasila tidak lagi dikatakan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia, melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan penguasa pada saat itu. Sekarang-pun ketika iklim demokratisasi dan demokrasi telah terbuka – yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, sebagian masyarakat mengulangi sejarah yang sama dengan mengintepretasikan Pancasila secara subyektif. Berbicara tentang Pancasila, maka identik dengan Orde Baru – Golkar dan Soeharto. Begitu halnya dengan ketika kita membicarakan mata kuliah Kewiraan (baca : Kewarganegaraan), dibenak sebagian masyarakat yang melekat adalah gambaran rezim militer dengan segala konsekwensi perilaku di masa lalunya yang menakutkan dan membuat trauma masyarakat.
Melihat stigma berfikir masyarakat yang seperti itu seharusnya Perguruan Tinggi bertanggung jawab untuk mencoba meluruskan sekaligus mendudukkan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam level yang lebih ilmiah dan obyektif. Bukan malah mengikuti arus persepsi salah sebagian masyarakat dengan meredusir atau bahkan menegasikan nilai substansial Pancasila dan Kewarganegaraan di mata publik, khususnya civitas akademika.(Andi Trinanda-Quovadis Pancasila dan Pendidikan)
Pengangguran Terdidik
Angka pengangguran di Indonesia pada 2010 diperkirakan masih akan berada di kisaran 10 persen. Target pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5,5 persen dinilai tidak cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif.
"Anggaran belanja negara yang kurang dalam peningkatan infrastruktur jelas tidak bisa menekan angka pengangguran. Apalagi, dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5 persen," kata Direktur Keuangan dan PSDM PPM Manajemen Bramantyo Djohan Putro di Jakarta, Indonesia membutuhkan petumbuhan setidaknya 7,3 persen per tahun untuk mengurangi angka pengangguran. Pertumbuhan itu bisa dicapai kalau laju inflasi berkisar 4 hingga 6 persen. Suku bunga Indonesia pun setidaknya berada di angka 5-7 persen dan nilai tukar rupiah Rp 9.500-Rp 10.500 per US. (Red Waspadaonline).
Jumlah penganggur terdidik terus meningkat seiring pertambahan lulusan perguruan tinggi setiap tahun.
“Menurut data Biro Pusat Statistik, jumlah penganggur terdidik lulusan universitas di Indonesia meningkat tajam dari 409.900 pada Februari 2007 menjadi 626.200 orang pada Februari 2008. Sementara untuk lulusan diploma yang menganggu di rentang waktu tersebut meningkat dari 330.300 orang menjadi 519.900 orang atau naik 57%,” kata Koordinator Recognition and Mentoring Program (RAMP) Institut Pertanian Bogor, Ono Suparno dalam Seminar Technopreneurship di Kampus Institut Teknologi Telkom, PR Kamis (4/3/2010).
Dengan kekayaan intelektual yang dimilikinya, kata Ono, mahasiswa seharusnya bisa menjadi pendorong pertumbuhan wirausaha berbasis teknologi (technopreneurship) yang mampu menghasilkan produk dengan nilai tambah. Technopreneurship akan menjadi salah satu kunci penciptaan knowledge-based economy untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi pengangguran.
Catatan Penutup
Perguruan Tinggi memiliki orientasi ideal yang harus terus di pupuk dan dikembangkan yaitu membentuk kader yang dibutuhkan oleh negara dan masyarakat bagi tercapainya tujuan umum bangsa Indonesia yang hendak mencapai terciptanya suatu masyarakat yang berdiri atas satu corak kepribadian, yaitu kepribadian Indonesia, sebagai jaminan untuk membangun kultur dan penjaga nilai ideologi bangsa. Tujuan tersebut berarti mendidik masyarakat (civitas akademika) yang memiliki keseimbangan intelektual yang nasionalis (rasa memiliki terhadap tanah air), moralis dan spiritual. Oleh karenanya momentum Hari Pendidikan Nasional, 102 tahun kebangkitan nasional saat ini serta hari kesaktian pancasila adalah sangat relevan bagi kaum akademisi dan masyarakat yang concern terhadap nilai sejarah dan edukasi ideologis bangsa untuk menakar, menganalisis, membedah sekaligus melakukan petualangan ilmiah melalui pengembaraan intelektualisasi dalam rangka menemukan kembali arah yang tepat bagi upaya melestarikan pancasila sebagai ideologi sekaligus kultur bangsa kita. Sebuah pedadogi ideology akan seirama apabila terimplementasi dari makna yang tersirat dari tujuan mulia yang ada di dalamnya, persoalan pendidikan menjadi hal pokok yang dapat menjadi kendala besar jika tidak dilakukan reorientasi yang diseuaikan dengan perkembangan bansa dan dunia, disi lain problem yang dihadapi bangsa ini adalah tingginya angka pengangguran, khususnya pengangguran terdidik, sudah 21 tahun LP3I turut mengupayakan dan membantu pemerintah dalam mengatasi pengangguran yang hususnya pengangguran terdidik. Hal ini tentu perludorongan dari semua stake holders agar cita-cita mulia ini dapat menjadi virus perubahan menuju bangsa yang pancasilais, makmur, adil dan sejahtera.(Ac)
Referensi:
Andi Trinanda, Mendefinisikan Kembali Paradigma Demokrasi Masa Transisi di Indonesia : Memaknai Nilai Reformasi Secara Obyektif, Majalah Cakrawala BSI, Vol 2 No. 1 September 2002.
C.S.T. Kancil, Pancasila dan UUD 1945 (Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 1998
Eka Danaputera, Pancasila (Identitas dan Modernitas) – Tinjauan Etis dan Budaya, PT. BPK Gunung Agung Mulia, Jakarta 1997
Kaelan, MS, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 1999
Letjen TNI Jhony Lumintang DKK, Pendidikan Kewarganegaraan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001
Naba Aji Notoseputro, Paradigma Sistem Perguruan Tinggi di Indonesia, Bina Prestasi, Edisi 15, Bina Sarana Informatika, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar