Halaman

Jumat, 16 Maret 2012

Jendela untuk “Mengintip” Tuhan


Oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA   
Al-Asma' al-Husna 
Jendela untuk “Mengintip” Tuhan
oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA

Bagaimana mungkin Dia terhijab oleh sesuatu, padahal:
Dia-lah yang menampakkan segala sesuatu.
Dia tampak pada segala sesuatu.

Dia tampak untuk segala sesuatu.
Dia tampak sebelum adanya segala sesuatu.
Dia lebih tampak dari segala sesuatu.
Dia yang tunggal dan tidak ada sesuatupun bersama-Nya.
Dia lebih dekat kepadamu daripada sesuatu.
Kalau tidak ada Dia maka tidaklah ada segala sesuatu.

Al-Asma’ al-Husna atau nama-nama indah Tuhan sudah sangat akrab dan familiar dengan lidah umat Islam. Ke 99 nama Tuhan ini dijadikan dzikir dan wirid rutian sehari-hari, karena memang ditemukan ada beberapa ayat dan hadis yang mengajak untuk banyak menyebut dan berdoa dengan nama-nama indah Tuhan tersebut. Namun demikian belum tentu akrab dengan hati dan pikiran mereka. Sudah barangtentu lafaz-lafaz Al-Asma’ al-Husna bukan hanya untuk dihafal, diziridkan, dan diwiridkan tetapi juga untuk sedapat mungkin dijadikan titik masuk (entry point)untuk lebih mendekatkan hati, pikiran, dan segenap consciousness kita kepada Tuhan.
Pemilihan nama dan komposisi nama-nama itu tentu mempunyai arti penting untuk dijelaskan. Biasanya untuk sebuah nama merupakan representasi dari yang dinamai. Sifat-sifat yang baik yang melekat pada sesuatu dicarikan dengan nama-nama yang baik, sebaliknya sifat-sifat buruk dicirikan dengan nama-nama yang buruk. Setidaknya nama adalah simbol pengharapan orang terhadapa sesuatu yang dinamai. Dengan kata lain, nama adalah representasi identitas dari yang dinamai.
Yang menarik untuk dikaji, Allah Yang Maha Esa tetapi mempunyai sejumlah nama. Bagaimana pula memahami sejumlah nama tersebut yang terkesan kontradiktif satau sama lainnya. Misalnya pada salahsatu nama-Nya Allah Maha Penyayang (al-Rahim) tetapi pada sisih lain Dia juga Maha Pendendam (al-Muntaqim), pada satu sisih Dia Maha Lembut (al-Lathif) tetapi Dia juga Maha Keras (al-Qahhar). Satu sisih Allah Swt Maha Tak Terbandingkan (incomparability) tetapi pada sisih lain Dia menyebut dirinya dengan nama-nama serupa (similarity) dengan sifat-sifat makhluk-Nya, bahkan dalam hadis kita diserukan berakhlak seperti akhlak-Nya (takhallaqu bi akhlaq Allah).
Secara substansial jauh lebih rumit lagi. Pada satu sisih Tuhan samasekali tidak akan pernah mungkin diketahui, diidentifikasi, dan didefinisikan, tetapi pada sisih lain Tuhan membuka diri untuk diketahu, diidentifikasi, dan didefinisikan, karena Ia sendiri memperkenalkan diri melalui nama-nama-Nya yang kita kenal dengan al-Asma’ al-Husna. Satu sisih Ia memperkenalkan diri sebagai Maha Berdirisendiri (al-Qaim bi Nafsih), tetapi pada sisih lain Ia memperkenalkan diri-Nya sebagai Objek Yang Disembah (Ilah, Rabb), yang berarti butuh hamba sebagai penyembah dan mempertuhankan-Nya (ma’luh, marbub, ‘abid). Ia sebagai Pencipta (al-Khaliq), yang berarti butuh ciptaan (al-makhluq). Ia Yang Bertindak (al-Mu’atstsir) berarti Ia butuh obyek yang akan menerima tindakan (al-ma’tsur). Ia sebagai Maha Penyayang (al-Rahman) berarti Ia butuh obyek untuk menuangkan kasih saying-Nya. Bagaimana mungkin menyebut-Nya sebagai Tuhan tanpa penyembah, bagaimana mungkin menyebut-Nya Maha Pencipta (al-Khaliq) tanpa adanya makhluk, bagaimana mungkin menyebut-Nya al-Mu’atstsir tanpa kehadiran al-ma’tsur,dan bagaimana bisa disebut Maha Pengasih tanpa obyek yang dikasihi.
Dualitas Ilahi
Tradisi pemahaman ketuhanan kita selama ini mengesankan Tuhan seolah-olah mempunyai dua dimensi, yang dalam buku Sachico Murata disebut The Duality of God[1] yaitu dimensi yang tidak akan pernah mungkin diketahui, tak terbandingkan, tak teridentifikasi, dan takterdefinisikan. Dimensi inilah yang sebut dengan al-Ahadiyyah oleh Ibn ‘Arabi. Dimensi ini direpresentasikan oleh nama-nama maskulin (masculine names)[2] Tuhan. Pada dimensi ini seolah kita tidak akan pernah mungkin mengenal dan mengetahui Tuhan dalam diri-Nya sendiri, hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya.
Dimensi lain-Nya ialah Tuhan dimungkinkan untuk diketahui, diidentifikasi, dan didefinisikan. Dimensi ini disebut al-Wahidiyyah oleh Ibn ‘Arabi. Dimensi ini direpresentasikan oleh nama-nama feminin (feminine names)[3] Tuhan. Pada dimensi ini kita dimungkinkan untuk mengenal dan mendekati Tuhan, tidak pada diri-Nya sendiri, tetapi melalui lokus dimana Ia memanifestasikan diri-Nya. Di sinilah pentingnya memahami konsep al-Asma’ al-Husna, ibarat jendela untuk mengintip, mengenal, dan mendekati Tuhan.
Di dalam Al-Qur’an diisyaratkan mekanisme dualitas makhluk makrokosmos yang dapat digunakan untuk memahami konsep dualitas Ilahi, antara lain dalam Q.S. al-Dzariyat/51:49: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kalian mengingat akan kebesaran Allah”. Redaksi serupa ini dapat ditemukan di beberapa ayat lainnya dalam Al-Qur’an.
Makna zaujain di sini ialah Allah Swt menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, yakni dengan dengan dua realitas yang berbeda, namun saling melengkapi satu sama lain. Ini mengisyaratkan bahwa lokus perwujudan sesuatu adalah kebalikannya dan masing-masing kebalikan membantu kebalikannya. Tidak ada kebaikan yang dapat diketahui tanpa kebalikannya. Sebagai contoh, makna penting kesehatan terasa setelah mengalami suatu penyakit.

Pola dialektika ini juga dapat digunakan untuk memahami pola relasi Tuhan dengan makhlukn-Nya. Allah Swt sebagai Tuhan (al-Ilah) melazimkan adanya penyembah (al-ma’luh), Tuham sebagai Rabb melazimkan adanya hamba (al-marbub), Tuhan sebagai Maha Pencipta (al-Khaliq) melazimkan adanya makhluk (al-makhluq), Tuhan sebagai Maha Pengasih dan Penyayang (al-Rahman, al-Rahim) melazimkan adanya obyek yang akan diberi kasih dan sayang, demikian seterusnya. Al-asma’ al-husna memerlukan lokus untuk memanifestasikan diri-Nya. Sulit kita memahami al-Ilah tanpa al-ma’luh, al-Rab tanpa al-Marbub, al-Khaliq tanpaal-makhluq.
Wujud Allah Swt memang sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) didefinisikan dan diketahui. Keberadaan Wujud-Nya hanya dapat diketahui melalui realitas yang termanifestasikan oleh yang Wujud. Keberadaan Wujud Tuhan  merupakan sesuatu yang tidak tampak pada diri-Nya sendiri tetapi menyebabkan segala sesuatu  selain diri-Nya tampak. Wujud Tuhan dapat dianalogikan dengan cahaya. Cahaya sesungguhnya tidak pernah tampak, tetapi cahaya memungkinkan kita melihat hal-hal selainnya. Keberadaan cahaya diketahui melalui penampakan sesuatu selain dirinya karena kehadirannya, seperti perabotan rumah, pemandangan indah, taapak keberadaannya karena adanya kehadiran cahaya. Cahaya sesungguhnya tidak mempunyai warna kusus. Bukan cahaya yang tampak terang atau gelap, melainkan sesuatu yang bersentuhan  atau tidak bersentuhan dengan cahaya itu. Perabotan dan pemandagan menjadi terang atau gelap karena intensitas persentuhan cahaya dengannya.
Demikian halnya dengan wujud Tuhan. Wujud-Nya tidak mungkin bisa diketahui dan didefinisikan oleh makhluknya secara utuh dan menyeluruh. Bukan Tuhan kikir kepada hambanya, bukan pula Ia sengaja menyembunyikan diri kepada makhluknya, akan tetapi karena semata-mata kerena keterbatasan esensi dan substansi manusia untuk memahami-Nya. Apalah arti sebuah cangkir untuk menampung air samudra. Tidak akan pernah mungkin sebuah cangkir mewadahi air samudera. Wujud Tuhan identik dengan Esensi yang tidak akan pernah mungkin diketahui dan didefinisikan oleh hamba-Nya.
Kalangan sufi mempunyai pendapat yang beragam tentang Wujud Tuhan. Ibnu ‘Arabi misalnya menggambarkan Wujud  Tuhan merupakan jumlah keseluruhan dari segala sesuatu yang diciptakan. Istilah yang digunakannya ialah Wahdatul Wujud (Oneness of Being). Istilah Ibn ‘Arabi seringkali difahami secara sederhana oleh orang sehingga maksud sesungguhnya dari istilah itu tidak tepat. Akibatnya Ibn ‘Arabi sering dituding macam-macam, termasuk menganggapnya sebagai orang sesat yang tidak layak menyandang gelar ulama. Akan tetapi, jika kita mempelajari secara kritis dan sungguh-sungguh maka orang tidak perlu menghujat atau menyesatkan Ibn ‘Arabi. Apa yang dimaksudkan dengan  Wahdatul Wujud oleh Ibn ‘Arabi sesungguhnya ialah kesatuan wujud dan konteks dualitas Ilahi (Divine Duality), yaitu Tuhan mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi al-Ahad, yang tidak akan pernah mungkin diketahui, tak ternamai, dan tak terbandingkan (incomparability). Kedua, dimensi al-Wahid,yang dapat diketahui, ternamai, dan berkeserupaan dan penyamaan (similarity and undifferentiated), sebagaimana hal ini kita ketahui melalui konsep al-Asma’ al-Husna. Pada tataran dimensi kedua inilah Ibn ‘Arabi menempatkan istilah Wadatul Wujud. Di sinilah arti penting konsep Al-Asma’ al-Husna, menurut Ibn ‘Arabi, karena seolah menjadi pintu rahasia untuk mengintip, mengenal, mendekati Tuhan dan bahkan “menyatu” dengan Tuhan. Allah Swt serupa dalam ketakterbandingan-Nya dan tidak bisa dibandingkan dalam keserupaan-Nya.
Kemahaesaan Allah adalah Esa dari yang Esa (ahadiyyah al-ahad) dan sekaligus Maha Esa dari yang Banyak dan keajmukan ciptaan-Nya (ahadiyyah al-ahad). Kemahaesaan-Nya secara mutlak menurut Ibn ‘Arabi adalah Esensinya, sedangkan kemahaesaan “relatif”-Nya diperkenalkan-Nya di dalam al-Asma’ al-Husna. Konsep keesaan Tuhan dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi dengan menggunakan konsep matematika ad infinitum­-nya Pytagoras, yang mengatakan satu sama dengan setengah dari dua. Tidak ada bilangan dua, tiga, empat dan seterusnya tanpa bilangan satu. Jadi semua berawal dari angka satu untuk semua bilangan yang lebih tinggi.
Dualitas Ilahi di sini samasekali tidak ada maksud untuk mengusik konsep keesaan Allah Swt. Sebagai ilustrasi untuk dan demi memudahkan pemahaman, ibarat sebuah mata uang yang mempunyai dua sisih yang berbeda. Meskipun dua sisihnya berbeda bahkan mungkin kontras, tetapi tetap satau mata uang.  Pada sebuah mata uang bisa saja pada satu sisihnya dapat dikenali karena terdapat nama dan angkanya. Akan tetapi pada sisihnya yang lain tidak dikenali karena memang tidak terdapat identitas yang dapat dikenali atau tertutup.
Dualitas Ilahi memberikan implikasi psikologis kepada seorang hamba, antara lain ada ketakutan tetapi ada juga pengharapan; ada kontraksi tetapi ada ekspansi; ada keakraban ada keterkaguman; ada pemusatan ada penyebaran; ada kehadiran ada ketiadaan; ada kemabukan ada kewarasan; ada penafian ada penetapan; dan ada penyembuyian dan ada pengungkapan. Jadi nama-nama indah (al-Asma’ al-Husna) mengimlikasikan nuansa keindahan dalan realitas pisik dan psikis manusia.
Pemahaman konsep Dualitas Ilahi menjadi amat penting bagi kita untuk memahami lebih jauh Wujud dan substansi Tuhan. Ada ungkapan menarik Ibn ‘Arabi sebagaimana dikutip Sachiko Murata bahwa: “Jika engkau bicara soal ketakterbandingan, engkau telah membatasi. Jika engkau berbicara soal keserupaan engkau juga membatasi. Jika engkau membicarakan keduanya itu yang tepat dan engkau bakal mencapai ma’rifat.”[4] Jika pernyataan ini kita anggap benar maka mungkin bisa membuat kita merefisi konsep keesaan Tuhan seperti yang selama ini mapan di dalam masyarakat kita. Kadang kita ingin benar dalam berakidah dan takut akan bahaya kemusyrikan, tetapi tidak sadar kita bisa terjebak di dalam kekeliruan fatal.
Konsep “penyamaan” (undifferentiation) sebagaimana disebutkan di atas lebih dekat kepada kesatuan (unity) dan aktifitas (activity/fa’iliyyah) Tuhan, sedangkan konsep pembedaan dan ketakterbandingan (differentiation) Tuhan lebih dekat pada kemajemukan (multiplicity) dan reseptifitas Tuhan (receptivity/qabiliyyah). Memang dalam hal ini ada dua hal dapat dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan, yaitu wujud (eksistensi) dan haqiqah (realitas),  serta ‘ain (entitas) dan sya’i (sesuatu) atau ma’lum (penegetahuan Ilahi).
Allah Swt menimbulkan realitas dan realitas menimbulkan entitas (Muatstsir), yang bertindak, dan ma’tsur yang menerima tindakan. Allah memerlukan sang hamba jika Dia harus menjadi Tuhan dan sang hamba memerlukan Allah jika dia harus menjadi hamba. Seolah-olah dalam hal ini makhluk sebagai “subsistensi” Tuhan, dan Tuhan “substensi” makhluk. Satu sama artinya dengan dua. Masing-masing bilangan saling membutuhkan satusama lain. Seolah-olah menurut Ibn ‘Arabi, Allah Swt adalah Dialah Yang Maha Esa sekaligus Dia jugalah Yang Banyak itu. Allah tidak banyak dalam eksistensi. Akan tetapi pengetahuan-Nya mempunyai banyak obyek, sebab Allah mengetahui segala sesuatu.
Kesatuan wujud dan kemajmukan pengetahuan-Nya adalah identik. Zat Maha Benar dikenal sebagai kesatuan dari keserbameliputan (all-comperhensiveness/ahadiyyah al-jam’). Dalam perbandingan Sachiko Murata, ia menyebutkan Wujud adalah Yang karena aktifitas-Nya melahirkan sesuatu. Sesuatu itu adalah Yin karena reseptivitasnya memungkinkannya untuk menjadi ada.
Konsep al-Asma’ al-Husna dapat digunakan bukan hanya untuk memahami Tuhan tetapi juga untuk memahami lebih mendalam diri manusia itu sendiri. Pemahaman konsep al-Asma’ al-Husna merupakan bagian yang takterpisahkan dengan keseluruhan konsep Al-Qur’an dan Hadis. Dalam Al-Qur’an dan hadis diperoleh informasi tentang kapasitas dan dimensi manusia. Prtama, dimensi lahiriah manusia sebagai hamba, mencerminkan kejauhan dan ketakterbandingannya dengan Tuhan. Kedua, dimensi batiniah manusia sebagai khalifah, mencerminkan kedekatan dan keterbandingannya dengan Tuhan. Dualitas manusia ini merupakan cerminan dari konsep Dualitas Ilahi sebagaimana  telah disebutkan.
Transkripsi lahiriah manusia sama dengan makrokosmos, yaitu sebagai hamba yang mencerminkan adanya jarak dan ketakterbandingan dengan Tuhan, tetapi transkripsi batiniah, manusia memiliki unsur suci (lahut/malakut), karena itu manusia dipilih sebagai khalifah dan mencerminkan adanya kedekatan dan “keserupaan”. Manusia selalu dituntut meneladani dan menyerupakan sifat-sifatnya dengan sifat-sifat Rububiyah Tuhan. Keberhasilan manusia meneladani dan menginternalisasikan sifat-sifat Rubibiyah itu maka manusia berpotensi untuk meningkatkan makrifat[5] melalui pengetahuan dan  ketatakwaan, membersihkan diri dari perbudakan hawanafsu dan  syahwat, dan menyucikan jiwa dengan berakhlak Allah.
Polarisasi nama-nama Tuhan tentu tidak untuk memberikan legitimasi bentuk pendekatan diri kepada Tuhan di dalam masyarakat kita, yaitu pola pendekatan yang lebih menekankan kepada aspek fikih dan yang lainnya ke aspek tasawuf. Pola pendekatan pertama, Fikih, seolah-olah lebih menekankan aspek ketakterbandingan (uncomparability), sehingga manusia terkesan jauh, transenden, dan bentuk penghambaan dirinya lebih menekankan aspek ketakutan kepada Zat Yang Maha Penghukum. Sedangkan pola kedua, lebih menekankan aspek keterbandingan (cmparability), sehingga manusia terkesan dekat, immanen, dan bentuk penghambaan dirinya lebih menekankan aspek cinta dan kerinduan kepada Zat Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Tentu di sini tidak dimaksudkan untuk membenarkan satu kelompok dan menyalahkan kelompok lain, tetapi secara umum dapat dinilai bahwa dengan menempuh pendekatan pertama semata maka ibadah bagi yang bersangkutan masih lebih merupakan suatu beban dan kewajiban. Sedangkan kelompok kedua lebih berpotensi merasakan ibadah sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai beban. [Nasaruddin Umar]


[1]Pembahasan yang cukup mendalam mengenai masalah ini dapat dilihat dalam, Sachiko Murata,  The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought, New York: State University of New York, 1992.
[2]Nama-nama maskulin (masculine names), yaitu nama-nama yang menggambarkan keperkasaan, ketegaran dan kemahakuasaan Tuhan, seperti  Maha Agung (al-Jalal), Maha Keras (al-Qahhar), Maha Pendendam (al-Muntaqim),  Maha Pemaksa (al-Jabbar), Maha Suci (al-Quddus), dan Maha Takterjangkau (al-’Izzah).
[3]Nama-nama feminine (feminine names), yaitu nama-nama yang menggambarkan kelembutan, ketulusan, dan dan kemahapenyayangan Tuhan, seprti Maha Indah (al-Jamal), Maha Lembut (al-Lathif), Maha Pengasih (al-Rahman), Maha Penyayang (al-Rahim), Maha Pemaaf (al-’Afuw), Maha Penyantun (al-Halim), dan Maha Sabar (al-Shabur).
[4]Murata, Op. cit., h. 52.
[5]Makrifat berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘arafa - ya’rifu berarti memahami dan sekaligus menghayati secara mendalam akan sesuatu yang menjadi obyek. Ma’rifah, kemudian diindonesiakan dengan “makrfat” berarti mengenal lebih dalam dan sekaligus menghayati dan meresapi esensi dan makna keberadaan Allah Swt. Tidak hanya memahami atau mengetahui secara teoritis (‘alim), tetapi menghayati dan meresapi serta merealisasikan wujud pwnghayatannya itu di dalam kerengung, berfikir, bertutur, dan berprilaku. Memang tidak semua álim itu ‘arif dan tidak mesti harus menjadi ‘alim untuk menjadi ‘arif, tetapi idealnya jika kealiman dan kearifan itu menyatu di dalam sebuah pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar